Selamat Datang di Blog KONI Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, Kita Raih Prestasi Kita Raih Kejayaan Membangun Bumi Bersujud

Saturday, December 3, 2011

Sepak Bola “Balik Kerak”

"Bung, saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan. Sepak bola kita memang tak bisa diharapkan lagi. Main di kandang saja kalah, apalagi di negara orang?"
Sebuah kesimpulan menjadi kegelisahan rekan yang dulu identik sebagai pembawa acara olah raga, khususnya sepak bola, di salah satu televisi.
Setelah lama tak bersua, perjumpaan kami terjadi tanpa sengaja ketika sama-sama sarapan pagi di restoran terminal II Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (23/11).
"Tak bisa diharapkan lagi?" Hmm, saya yang tengah menikmati roti dan teh hangat sambil menyaksikan kembali film A Barefoot Dream di layar komputer, jadi terdiam.
Luar biasa, sang kawan yang datang ke meja tempat saya sarapan memulai ucapan dengan nada skeptis terhadap tim nasional Indonesia.
Tanpa bak-bik-buk setelah sekian lama tak bertemu, ia menodong saya dengan sikap dan kesimpulan atas pencapaian Garuda Muda di SEA Games 2011.
Setelah bisa menguasai diri, saya mencoba menyapa dengan bertanya kabar sang teman. Pembicaraan pun tak bisa dicegah mengarah pada kondisi sepak bola di Tanah Air.
 Saya mencoba memberi penjelasan kenapa Indonesia gagal meraih emas di final cabang sepak bola. Walau sama-sama letih akibat jadwal yang sangat tak membantu pemain mengeluarkan kemampuan terbaiknya, plus kondisi lapangan, saya tegaskan minimnya persiapan tim Rahmad Darmawan itu.
Mimik wajahnya perlahan berubah ketika saya sampaikan gangguan membentuk pemain tanpa kompetisi nasional yang terhenti hampir setengah tahun.
"Apakah pemain kita benar-benar bisa menjaga kondisi dan kebugarannya ketika tidak berkompetisi?" Pertanyaan saya ini hanya dibalas anggukan.
"Bagaimana dengan dualisme liga teratas di Tanah Air? Tidakkah hal ini juga berperan mengganggu fokus para pemain? Ingat, mereka hidup dan mencari makan melalui keahlian bermain sepak bola. Bila Anda menjadi obyek dalam pertempuran dua kelompok, apakah bisa hidup tenang?"
Kembali pertanyaan saya ini hanya dibalas anggukan, entah ia paham atau sekadar mencoba menjaga interaksi di antara kami karena tidak menduga jawaban saya tak sejalan dengan konklusi yang ia miliki.
Kecewa dengan kekalahan adu penalti dari Malaysia? Seperti Anda semua, saya pun sangat terpukul atas kegagalan Garuda Muda dalam duel titik putih itu. Begitu pula salah satu calon penumpang yang menegur saya di ruang sebelum keberangkatan.
Pria berperawakan tinggi besar ini ingin mendengar pendapat saya atas kondisi federasi sepak bola kita, serta pertempuran dua kubu dalam memutar kompetisi di Tanah Air.
"Bila Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi memakai sepak bola sebagai alat perdamaian di Afrika Selatan, kenapa kita malah sebaliknya?"
Jawaban saya singkat, tapi lawan bicara saya mengangguk tanda mengerti.
"Bagaimana mungkin kita memetik buah yang baik dari pohon yang ditanam di bebatuan?" Jawaban ini saya berikan atas pertanyaannya tentang kualitas tim nasional.
Seperti pernah saya sampaikan dalam Weekend Story sebelumnya, kompetisi itu bisa diibaratkan tanah subur, tempat pohon tumbuh dan memberikan buah terbaik.
Dalam sebuah kesempatan berbagi cerita tentang hebatnya dampak sepak bola dan film A Barefoot Dream di Balikpapan kepada rekan-rekan dari Hotel Santika, Toko Buku Gramedia, dan Tribun Kaltim, saya mengutip pernyataan Kim Shin-hwan, tokoh yang kehidupannya di Timor Leste menjadi dasar film itu.
"Bagi saya, sepak bola hanyalah alat untuk mendapatkan uang yang kemudian membawa saya kepada penyesalan dan kesedihan mendalam. Saya tidak menyadari bahwa sepak bola dapat membawa kegembiraan yang murni kepada banyak orang."
Perdamaian. Ya, sejak tahun 2004, melalui sepak bola Kim Shin-hwan membantu terwujudnya perdamaian di Timor Leste. Ia berperan menyatukan kelompok-kelompok yang bertikai di sana ketika keputusan memisahkan diri dari Indonesia tidak mendapat persetujuan semua kalangan.
***
"Ada pemain tua yang bilang lebih baik tinggalkan timnas demi membela klub. Padahal itu alasan dia mau gantung sepatu karena gagal di timnas."
Jedeeerr! Usai meyakinkan rekan-rekan di Balikpapan tentang dahsyatnya kekuatan sepak bola sebagai “balik kerak” alias perdamaian, saya menerima sebuah pesan yang menyedihkan melalui Twitter.
Kalimat di atas adalah kutipan seseorang yang disampaikan kembali kepada saya karena keheranan sang kenalan di dunia maya terhadap isi pernyataan tersebut.
Bukankah kata-kata seperti ini hanya memperparah suasana sepak bola di dalam negeri? Apalagi bila kalimat ini dilemparkan dengan maksud menyudutkan orang lain yang berbeda pandangan dengan kita.
Saya jadi teringat penggalan nasihat seorang penulis Inggris  bernama David Herbert Lawrence. Begini katanya, "Orang selalu membuat perang ketika mereka mengatakan cinta perdamaian."
Apakah mungkin kita hidup dalam kerukunan bila kita lupa bahwa kita saling memiliki? Siapa bilang kita harus bertempur untuk dapat mencintai perdamaian?
Pada pengujung acara di Balikpapan itu, saya meninggalkan pesan, "Mari kita tunggu perkembangan sepak bola Timor Leste 5-10 tahun lagi. Karena kini musuh mereka bukan lagi ada di antara bangsa mereka sendiri." Bagaimana dengan kita? #

No comments: