Selamat Datang di Blog KONI Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, Kita Raih Prestasi Kita Raih Kejayaan Membangun Bumi Bersujud

Saturday, December 3, 2011

SEAG, KONI, Tinju, dan Sepak Bola

Setelah SEA Games berakhir, peta kekuatan olah raga 11 negara Asia Tenggara tergambar jelas. Indonesia adalah yang terkuat, tertinggi, dan tercepat karena mampu meraih 182 emas dibanding peringkat dua Thailand yang hanya 109 emas dari 554 keping yang diperebutkan.
Kebanggaan Indonesia menjadi juara umum sudah pulih setelah hilang sejak 14 tahun silam. Peranan tuan rumah di Palembang-Jakarta memuluskan jalan mengangkat citra yang sempat sirna ekses krisis  moneter yang kita alami.
Setiap atlet telah memberikan yang terbaik bagi bangsanya. Mereka memanfaatkan kesempatan yang terbuka di depan mata. Ambisi dan obsesi atlet semakin membara karena setiap medali dijanjikan bonus fantastis.
Para atlet yang sukses tengah menghitung rezeki upah dari jerih payah mereka. Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng telah membagikan sekitar 150 miliar rupiah bagi para pahlawan olah raga Indonesia. Semoga uang tidak membuat atlet berleha-leha sehingga lupa meningkatkan prestasi.
Ketika Indonesia kembali menjadi nomor wahid di Asia Tenggara, apakah kita sudah puas? Bangga boleh, tapi jangan terjebak oleh perasaan puas. Ingat, bila alat ukurnya adalah Asian Games, maka Thailand justru berada pada radar membahayakan. Pesta harus segera diakhiri. Ada tugas lebih besar lagi di depan mata. Ada Olimpiade 2012, SEAG 2013, dan Asian Games 2014. Giliran pengurus KONI baru yang merancang persiapan atlet meraih jenjang lebih tinggi.
Siapa Ketua KONI mendatang menggantikan peran Rita Subowo? Biarlah para insane olah raga negeri ini memilih dengan hati dan nalar. Setidaknya ada tiga orang yang berlaga menjadi nahkoda KONI 2011-1015, yakni Tono Suratman, Herdardji Soepandji, dan Djati Waluyo. Kongres berlangsung di Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada 1-2 Desember
***
Bulan November memang istimewa bagi dunia olah raga Indonesia. Chris John mencatat reputasi hebat dengan 15 kali mempertahankan gelar juara dunia tinju kelas bulu (57,1 kg) dalam laga 12 ronde melawan Stanyslav Merdov di Perth Australia, Rabu (30/11).
Setelah era Elly Pical, Nico Thomas, dan M. Rahman berakhir sebagai juara dunia tinju pro, kini hanya Chris John yang bertahan. Sayangnya, pamor dan popularitasnya di dalam negeri mulai merosot. Tidak ada pilihan, Chris terpaksa berlaga di Australia di bawah payung promotor Mahkota milik Raja Sapta Oktohari.
Sebelum Chris naik ring, petinju muda Daud Yordan menapak karier satu langkah lagi. Jagoan asal Kalimantan Barat itu menghancurkan petinju berpengalaman dari Amerika Serikat, Frankie Archuleta, dengan kemenangan TKO ronde empat. Mahkota juara kelas bulu IBO Asia-Pasifik pun menjadi miliknya. Mari kita berpindah ke Stadion Utama Senayan yang dibangun Soekarno pada tahun 1960 itu. Rabu (30/11) malam, di sana berlangsung peristiwa besar. Bintang sepak bola dunia asal Inggris yang membawa klub LA Galaxy menjadi juara Amerika Serikat 2011, David Beckham, bertanding melawan tim Seleksi Indonesia.
Walau LA Galaxy tidak bertarung matimatian, cukup member hiburan menyenangkan bagi publik Indonesia. Beckham, Robbie Keane, maupun Landon Donovan memperagakan keseriusan, teknik tinggi, permainan keras yang tidak kasar. Ini menjadi pelajaran penting bagi Bambang Pamungkas dan kawan-kawan.
Bukan hasil akhir kekalahan 0-1 timnas seleksi kita yang penting, tapi makna besar di balik itu. Usaha promotor Mahaka Sports yang dikomandoi Hasani Abdulgani mendatangkan juara AS itu patut dihargai. Klub dan nama besar berlaga di Indonesia menjadi berita positif untuk mengembalikan citra bangsa kita.
Ada berita menyenangkan, tapi ada juga yang membuat dahi berkerut. Saat kompetisi liga sepak bola Indonesia digelar, eh... malah cerita tidak harmonis yang lebih menonjol. Ada dua kompetisi bersaing di panggung yang sama. Kompetisi pertama adalah Liga Primer Indonesia (LPI) yang dikelola PT LPIS. Ada lagi Liga Super Indonesia (LSI) yang diputar oleh PT LI. Kompetisi LPI diakui secara sah oleh PSSI, sedangkan LSI dianggap ilegal.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Masyarakat dibuat bingung dengan adanya perpecahan yang terjadi saat ini. PSSI sebagai induk sepak bola negeri seperti terjepit di tengah dan tidak berdaya untuk mengambil keputusan secara tegas.
Persoalan memang serbarumit. Peserta LPI dilukiskan diikuti klub-klub yang tidak memiliki massa pendukung kuat di tengah masyarakat bawah. Sebaliknya kontestan LSI dihuni klub-klub besar yang sudah kuat di akar rumput. Sebut saja Persipura, Sriwijaya, Persib, Persija, Arema, maupun Persisam.
Disharmoni di antara para pengurus sepak bola negeri ini harus segera dihentikan. PSSI membutuhkan mediator guna menemukan jalan keluar agar pengelolaan kompetisi bersatu. Ke depan tidak boleh ada lagi LPI atau LSI, yang ada hanya satu kompetisi sepak bola Indonesia.
Memang pasti ada pihak yang tidak puas menerima keputusan pahit. Namun, PSSI sejatinya mengambil sikap tegas berdasarkan kebijakan. Apakah membuka perundingan dengan kepala dingin dengan pihak LSI atau sekaligus menjatuhkan sanksi organisasi.
Betul, menemukan jalan terbaik itu tidak mudah, tapi PSSI harus segera bertindak. Merangkul atau mendepak? Mengakui atau mencoret? Walau semua itu pilihan sulit, sebaiknya tentukan sikap!

No comments: