Selamat Datang di Blog KONI Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, Kita Raih Prestasi Kita Raih Kejayaan Membangun Bumi Bersujud

Friday, December 16, 2011

Menpora, Segeralah Bertindak

Konflik sepak bola nasional semakin tajam. Rekonsiliasi di antara pengurus PSSI tampaknya belum mengarah pada titik temu. Situasi ini sangat merugikan citra dan pembinaan prestasi Indonesia.
Pada tulisan minggu lalu, saya mengajak dan berharap Wakil Presiden RI 2004-09, Jusuf Kalla, mau turun tangan. Tokoh independen yang juga pencinta sepak bola ini agar bersedia menjadi mediator. Menengahi dan menyatukan potensi yang terpecah belah menjadi dua kubu.
Sayang, sejauh ini belum terlihat reaksi positif dari pihak-pihak yang berselisih. Malah belakangan semakin mengkristal, seolah saling pamer kekuatan dan kebenaran diri sendiri tanpa peduli ekses negatif di kemudian hari.
Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin, mengambil sikap jelas setelah rapat di rumah pengusaha Arifin Panigoro. Kali ini keputusannya sangat keras dan tegas. Seluruh komponen yang terlibat di Liga Super Indonesia (LSI) mendapat ganjaran.
PSSI menegaskan bahwa kompetisi yang dikelola LSI adalah ilegal. LSI melanggar aturan PSSI sebagai anggota sah dari AFC maupun FIFA. Karena itu, setiap orang di LSI tidak diakui keberadaannya.
Beberapa waktu lalu, PSSI menyebut bahwa yang dilarang adalah LSI dan perangkat pendukungnya. Belakangan, sanksi yang dijatuhkan sangat keras dan meluas. Para pemain yang berlaga di LSI tidak diperkenankan membela tim nasional.
Waduh, kalau sanksi ini betul-betul diterapkan, boleh disebut 90 persen pemain di tim nasional U-23 maupun senior dicoret. Ujung-ujungnya, pemain pengganti akan dicarikan dari klub yang berkompetisi di bawah pengelolaan Liga Primer Indonesia (LPI). Liga inilah yang dianggap sah oleh PSSI, walau secara kualitas di bawah LSI.
Jempol patut diacungkan kepada PSSI. Setidaknya ada sikap yang ditunjukkan dan pengurus mau menanggung risiko. Namun, bagi sebagian pihak terasa ganjil karena menjatuhkan sanksi dan denda seperti tebang pilih.
Bukan-kah LSI diikuti 18 klub? Nah, kalau begitu kenapa pake pilih kasih hanya menghukum delapan klub pemberontak? Sekalian saja klub yang main di LSI mendapat sanksi berat, degradasi atau bahkan dicoret.
Atau, kebijakan menghukum secara berbeda ini adalah bagian dari strategi? Misalnya taktik memecah belah kekompakan klub di LSI? Tapi, apa pun keputusan PSSI sudah pasti sah dan patut dihormati sejauh demi kemajuan bersama.
***
Dua tokoh dari Kalimantan, Harbiansyah Hanafiah dan Syahrir Taher, mendapat sanksi khusus. Keduanya dicoret dari aktivitas sepak bola selama tiga tahun, ditambah denda sebesar 150 juta rupiah.
Harbiansyah adalah presiden direktur (presdir) klub anggota LSI, Persisam Samarinda, yang juga menjabat Presiden Komisaris (Preskom) PT LI. Syahrir adalah Ketua Umum Persiba Balikpapan. Di PT LI, ia bertindak sebagai presdir.
Siapa kedua orang ini? Ketika berlangsung kongres mengganti Ketua PSSI, Harbiansyah adalah pentolan Kelompok 78. Tokoh sepak bola paling lama di Samarinda ini sangat getol menyingkirkan rezim Nurdin Halid.
Dalam kepengurusan PSSI di bawah Djohar, Harbiansyah diberi jabatan penting sebagai Ketua BLI (Badan Liga Indonesia) membawah-kan kompetisi. Tapi, mantan Ketua PP (Pemuda Pancasila) Samarinda ini malah mengundurkan diri.
Alasan utama pengunduran diri ini adalah karena PSSI dianggap menyalahi aturan main. Kompetisi Liga Indonesia yang berada di bawah komandonya dinilai diobok-obok. Kompetisi yang seharusnya diikuti 18 klub membengkak menjadi 24 klub oleh PSSI tanpa alasan yang jelas.
Terjadi titik balik. Kecewa terhadap kebijakan PSSI, beberapa pengurus mengambil sikap berseberangan. LSI yang dianggap sudah almarhum karena digantikan LPI malah dihidupkan lagi. Inilah cikal bakal perselisihan semakin menajam.
Aneh, kompetisi sempalan yang dikelola para pengurus lama itu justru diminati hampir semua klub terbaik. Akibat aksi pindah dari LPI ke LSI membuat gerak PSSI semakin sempit hingga menimbulkan kemarahan yang berujung keluarnya sanksi.
***
Perselisihan sudah meletus. Sanksi kepada para pemain terbaik nasional kita yang bermain di LSI pun telah dijatuhkan. Mereka tak boleh lagi main di bawah panji Indonesia, padahal tim U-23 finalis SEA Games ini adalah masa depan kita.
Secara legal, apa yang dilakukan PSSI benar. Tapi, secara pengakuan sosial tidak demikian. Contoh paling anyar adalah mundurnya pelatih tim U-23, Rahmad Darmawan (RD), yang sangat diapresiasi penonton.
Resminya sih, RD mundur karena merasa gagal merebut emas SEA Games. Tapi, kepada wartawan ia mengatakan tidak sejalan dengan PSSI yang melarang pemain yang berlaga di LSI masuk timnas.
Adu kekuatan para pelakon sepak bola Indonesia semakin membahayakan. Bila ini dibiarkan berlanjut, dapat dipastikan prestasi kita akan semakin terpuruk.
Sudah waktunya Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng bertindak. Mungkin saja bukan untuk membubarkan kedua kubu atau salah satu, melainkan mencari jalan terbaik yang bersifat saling menguntungkan. Bagaimana bentuknya, Menpora tentu punya kiat untuk itu.
Saya yakin pihak yang bertikai memiliki niat yang sama memajukan sepak bola Indonesia. Semoga Menpora berhasil membuka ruang komunikasi agar tercipta hubungan yang harmonis.

No comments: