Selamat Datang di Blog KONI Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, Kita Raih Prestasi Kita Raih Kejayaan Membangun Bumi Bersujud

Saturday, December 3, 2011

Belajar Mengelola Olahraga dari Negeri Cina

Indonesia mencatat sukses besar pada pergelaran SEA Games 2011 di Jakarta dan Palembang. Prestasi mengembalikan juara umum terbilang berhasil. Namun, meskipun menjadi juara umum, perolehan medali Indonesia di cabang olimpik – yang dipertandingkan di level Asian Games dan Olimpiade – tidaklah menjanjikan.
Persentase perolehan medali Indonesia dari cabang olimpik, masih kalah dari peringkat kedua overall, Thailand. Lebih dari 60% perolehan emas Thailand dari cabang olimpik, sementara Indonesia di bawah 50%. Untuk urusan olahraga olimpik, Cina adalah maestro.
Mempelajari bagaimana Cina mendapatkan atlet-atlet berbakat ibaratnya membaca komik berjilid-jilid yang tak pernah membosankan. Koran Washington Post pernah menurunkan artikel menarik bagaimana seorang kutu buku yang gemar matematika dan melukis, akhirnya tercebur sebagai atlet angkat besi Olimpiade.
“Saya layaknya anak perempuan biasa di sekolah dasar yang menyenangi matematika dan melukis. Saat menginjak kelas lima, sebuah tim pemandu bakat olahraga datang ke sekolah. Mereka mengukur panjang tangan dan bahu saya. Tanpa diduga saya direkomendasikan masuk sekolah olahraga dan diminta menekuni angkat besi! Saya sangat terkejut sebab sehari-hari saya bermain bola basket,” ungkap Wang Xiaowen.
“Saya sangat takut sebab sama sekali tak mengerti olahraga prestasi.” Sikap patuh dan disiplin Wang membawanya ke Shanghai Sports School lewat jalur beasiswa. Belakangan, ia berlatih angkat besi 5 jam sehari selain melanjutkan hobinya matematika dan melukis. Wang diandalkan Cina di kelas 58 kg.
Menurut Wu Yigang, profesor di Shanghai University of Sport, metode pencarian bakat atlet Cina menggunakan pendekatan ilmiah terbaik. ”Mereka dengan mudah menemukan atlet muda potensial sejak usia dini di seluruh negeri,” ungkap Wu. Atlet muda potensial dikirim ke sekolah olahraga (sports school).
Berapakah anggaran di sekolah olahraga itu? Seperti dilansir Washington Post, sekolah olahraga Shichahai di Beijing pernah menganggarkan sampai US$ 4 juta (Rp 36,8 miliar) pada tahun 2006. Anggaran sekolah olahraga setiap tahun naik 5% dan semuanya ditanggung oleh pemerintah kota Beijing. Shichahai mendidik atlet sejak SD hingga SMA.
Pengembangan atlet muda Cina mengikuti bagan piramida. Dari data statistik tahun 2006, ada 200 juta anak di Cina usia 6-18 tahun yang memiliki physical fitness di atas rata-rata. Mereka diseleksi sehingga tersisa enam juta anak yang berbakat olahraga dan tersebar di 11.400 sekolah umum yang memiliki spesialisasi olahraga tertentu. Tim pemandu bakat terus mengawasi perkembangan mereka.
Seleksi selanjutnya menyisakan 400 ribu atlet usia dini. Mereka dilatih di sekitar tiga ribu sekolah olahraga spesialis. Untuk memenuhi pelapisan berjenjang atlet senior, dipilihlah 46 ribu atlet usia 6-18 tahun yang dilatih intensif di 300 sports school terbaik Cina. Pada tingkatan ini, pendekatan latihan sudah sama dengan atlet-atlet senior. Sebagian dari atlet-atlet inilah yang dikirimkan mengikuti Youth Olympic Games di Singapura, 14-26 Agustus 2010.

Meniru Uni Sovyet
Budaya olahraga di Cina diperoleh dari Uni Sovyet. Saat raja-raja masih berkuasa, di bawah pengaruh dinasti Ming dan Qing, pendidikan di Cina difokuskan pada studi literatur dan sejarah, bukan pada pengembangan fisik (physical training). Akibatnya masyarakat Cinas saat itu cenderung sopan namun gerakan tubuhnya lamban.
Perkembangan tak kondusif pada kemampuan fisik masyarakat itu berdampak signifikan pada partisipasi Cina di Olimpiade, tolok ukur tertinggi kemampuan atlet seluruh dunia. Cina berpartisipasi pertama kali diOlimpiade 1932 namun tak memiliki sejarah prestasi bagus.
“Pada tahun 1930 hingga 1940-an atlet-atlet kami dijuluki Lelaki Sakit Asia (the Sick Man of Asia) saking buruknya kemampuan fisik dan berolahraga atlet Cina,” kata Ren Hai, direktur Pusat Studi Olimpiade Cina di Kementrian Olah Raga, seperti dikutip USA Today. Pada saat itu, atlet-atlet yang dikirim lebih banyak pria karena belum ada kesetaraan gender seperti sekarang.
“Pemerintahan komunis di bawah Mao Zedong akhirnya mengambil konsep pengembangan olahraga Uni Sovyet. Mao membenahi dari sisi yang paling mendasar yakni kebugaran masyarakat lewat sekolah-sekolah. Pelatih-pelatih hebat dari Uni Sovyet dan sekutunya didatangkan untuk mencetak guru-guru pendidikan jasmani terbaik. Guru-guru itu disebarkan ke seluruh negeri,” ungkap Luo Ping, peneliti dari universitas West Virginia, AS.
Di rezim Mao, Cina memasuki era ketertutupan dalam olahraga sebab tidak ambil bagian dalam pesta olahraga olimpiade. Namun konsentrasi mobilisasi kebugaran masyarakat dipegang teguh. Kemampuan berolahraga masyarakat diberi tanda dengan kepangkatan (badge), yang membedakan seseorang dari sekadar bugar sampai berbakat sebagai atlet.
Deng Xiaoping mengambil alih kepemimpinan partai komunis pada 1976. Karena sudah dipandang bagus, atlet-atlet Cina mulai dikirim ke luar negeri. Tahun 1982, Cina mulai merebut emas di Asian Games. Perkembangan dahsyat terjadi sebab sampai tahun 1988 saja, atlet-atlet Cina memenangi 314 nomor kejuaraan dunia dan memecahkan 118 rekor!
Fokus pada Olimpiade dilakukan. Pada Olimpiade Los Angeles (1984) Cina memperoleh 14 medali emas. Namun perolehan itu dianggap tidak sahih karena Uni Soviet memboikotnya. Setelah hanya mendapat 5 emas di Olimpiade Seoul (1988), Cina sangat serius dengan olahraga prestasi. “Kami hanya melihat medali emas sebagai tolok ukur keberhasilan. Tidak mendapatkan emas, berarti Anda gagal,” ungkap Ren.
Perolehan medali emas pun terus meningkat dengan puncaknya menjadi juara Olimpiade Beijing 2008. Di Olimpiade Beijing, Amerika Serikat (AS) menempati peringkat kedua di bawah Cina. Cina merebut 51 emas sedangkan AS 36 emas. Di level multievent Youth Olympic Games (YOG) 2010, Cina di peringkat pertama sedangkan AS berada di luar 10 besar. Mereka kalah dari Rusia, Ukraina, Korsel, dan Jepang.
Renang dan atletik yang biasanya menjadi tambang medali emas AS, ternyata hanya memberikan masing-masing satu emas di YOG itu. Di renang, AS hanya mendapatkan emas dari Kaitlyn Jones di nomor 200 m gaya ganti perseorangan. Bandingkanlah dengan Cina yang meraih 11 medali emas dari kolam renang.
Jika negara yang memiliki tradisi kuat seperti AS saja tertinggal jauh dari Cina, bagaimana dengan Indonesia yang belum mempunyai perencanaan jelas terhadap pembibitan atlet?

Medali Emas Cina di Olimpiade
Tahun    Kota        Emas Perak Perunggu
2008    Beijing        51    21    28
2004    Athena        32    17    14
2000    Sydney        28    16    15
1996    Atlanta        16    22    12
1992    Barcelona    16    22    16
1988    Seoul           5    11    12
1984    Los Angeles  15    8    9

No comments: