Selamat Datang di Blog KONI Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, Kita Raih Prestasi Kita Raih Kejayaan Membangun Bumi Bersujud

Monday, January 9, 2012

Optimisme Mengisi Tantangan 2012

Tonggak sejarah olah raga Indonesia ditancapkan pada Olimpiade Seoul 1988. Itulah saat pertama kali atlet kita mencatatkan diri sejajar dengan negara lain peraih medali di kompetisi empat tahunan itu.
Medali perak direbut trio pepanah: Nurfitriana Saiman, Lilies Handyani, dan Kusuma Wardhani. Perolehan ini merupakan penantian panjang sejak Indonesia ambil bagian di Olimpiade Helsinki, Finlandia, 1952.
Setiap permulaan memang sangat sulit. Setelah meraih perak, maka empat tahun kemudian, tepatnya di Olimpiade Barcelona 1992, atlet Indonesia membuat lonjakan besar. Dua emas, dua perak, dan satu perunggu dibawa pulang ke pangkuan nagari.
Bulu tangkis, cabang olah raga yang baru pertama kali dipertandingkan di Olimpiade, betul-betul membanggakan hati masyarakat Indonesia. Susy Susanti dan Alan Budikusuma merebut medali emas dari nomor di tunggal putra-putri, perak oleh Ardy Wiranata (tunggal putra) dan Eddy Hartono/Gunawan (ganda putra), dan perunggu oleh Hermawan Susanto (tunggal putra).
Sayang, keberhasilan bulu tangkis tidak diikuti cabang lain. Begitu juga dengan panahan, pionir medali perak Olimpiade itu seperti menguap begitu saja. Jangankan ditingkatkan menjadi medali emas, sekadar perunggu menjaga reputasi tak mampu diraih.
Medali emas Susy dan Alan adalah fenomena yang berkembang menjadi tradisi dan selalu mampu dipertahankan. Lima kali  sudah bulu tangkis dipertandingkan di Olimpiade sejak 1992, selama itu pula atlet Indonesia bergantian menjaga tongkat estafet tidak terputus hingga 2008.
Inilah daftar atlet Indonesia yang mempersembahkan medali emas Olimpiade: Susy, Alan (Barcelona 1992), Ricky Subagdja/Rexy Mainaky (Atlanta 1996), Tony Gunawan/Candra Wijaya (Sydney 2000), Taufik Hidayat (Athena 2004), Markis Kido/Hendra Setiawan (Beijing 2008).
***
Di tengah dominasi bulu tangkis, Indonesia juga bergembira dengan lahirnya cabang dengan reputasi dunia. Angkat besi di luar dugaan memberikan secercah harapan dengan tampilnya lifter putri mendobrak kekuatan Cina dan negaranegara pecahan Uni Soviet.
Seorang gadis dari Papua bernama Raema Lisa Rumbewas menjadi pusat perhatian di panggung angkat besi. Putri mantan binaragawan juara Asia, Levi Rumbewas, menerobos hingga putaran final kelas 48 kg. Dengan keyakinan penuh didampingi sang ibu, Lisa mampu merebut medali perak Olimpiade Sydney 2000.
Kesuksesan tidak hanya milik Lisa. Dua putri Indonesia lain, Sri Indriani di kelas 48 kg memperoleh medali perunggu. Catatan serupa dibukukan Winarni bin Slamet tatkala turun di kelas 53 kg.
Empat tahun berikutnya, Lisa tetap mempertahankan reputasi dan prestasi medali perak di Olimpiade Athena 2004. Apa boleh buat, lifter putri dan putra Indonesia lainnya tidak cukup kuat mengangkat barbel untuk dikalungi medali.
Masa edar dan kemampuan Lisa sudah berakhir sehingga tidak memiliki prestasi lagi pada Olimpiade Beijing 2008. Untung duo lifter putra, Eko Yuli dan Triyatno, mampu melanjutkan tradisi medali angkat besi. Kedua lifter kita di kelas 56 kg dan 62 kg itu membawa pulang medali perunggu.
Sebagai orang Indonesia, kita patut bangga kepada para duta olah raga kita di Olimpiade. Artinya, selama 24 tahun sejak awal manis Olimpiade Seoul 1988 hingga kini, tradisi medali tetap dipertahankan. Dari enam kali pelaksanaan, Indonesia sudah mengoleksi 25 medali: 6 emas, 9 perak, dan 10 perunggu.
***
Olimpiade London 2012 pada 27 Juli sampai 12 Agustus sudah di depan mata. Negeri Pangeran Charles itu menyapa kita, apakah Indonesia siap melanjutkan tradisi medali emas? Pertanyaan yang tak terucap itu harus mampu dijawab.
Nah, siapa yang akan menjawab? Apakah Djoko Santoso, Ketua Umum PBSI, Menpora Andi Mallarangeng, Tono Suratman Ketua Umum KONI, atau Rita Subowo Ketua Umum KOI?
Ini adalah tantangan terbuka bagi bangsa Indonesia. Tidak pada tempatnya negeri besar yang belum lama ini tampil sebagai pengumpul medali emas terbanyak di SEA Games malah gagal di saat paling diharapkan, Olimpiade!
Jika kita sepakat bahwa output dari pembinaan olah raga prestasi adalah medali emas, maka harus bersiap dari sekarang. Waktunya memang tidak terlalu lama, tapi dengan kerja keras dan cerdas dalam menjalankan program, tidak mustahil impian menjaga tradisi emas akan tetap langgeng.
Karena itu, segala daya dan upaya ditopang pembiayaan memadai dari pemerintah akan memudahkan kerja pelatih. Atlet sama sekali tidak boleh direpotkan dengan persoalan administratif. Fokus 100 persen pada target utama. Jangan ada lagi agenda lain yang dapat mengganggu.
Karena ini Olimpiade, ada baiknya pemerintah menerapkan skala superprioritas. Bukan mengecilkan arti cabang lain, tapi karena bulu tangkis adalah yang terdepan maka wajar mendapat perlakuan istimewa. Penuhi segala kebutuhan selama pembentukan, bukan mengumbar janji hadiah miliaran rupiah kalau meraih emas.
Proses pematangan kemampuan atlet dan uji coba internasional jauh lebih bermanfaat ketimbang janji bonus. Prinsip kita adalah membentuk tim kecil tapi kuat ketimbang kontingen besar namun lembek.
Di Olimpiade London, harga diri olah raga Indonesia diuji. Saatnya Djoko Santoso dan seluruh pengurus PBSI memberi jawaban hasil kerja empat tahun. Tidak mudah memang, tapi menjaga tradisi emas itu bukan hal mustahil.
Bagaimana, Pak, siap? Laksanakan!

No comments: