Tuesday, November 15, 2011
Cinta, Cermin, dan Celaka
Seminggu ini, kisah-kisah perumpaan menjadi teman yang mendampingi saya mengisi hari-hari. Kalau memang itu bisa membuat kita menjadi manusia yang lebih baik, kenapa tidak dicermati?
Izinkan saya berbagi cerita, yang mungkin sudah pernah Anda dengar, dan menempatkannya dalam satu kotak kehidupan kita.
Salah satu kisah itu tentang seorang kakek yang gelisah di ruang tunggu dokter. Dalam proses antrian menunggu sang suster menyebut namanya untuk dipersilakan masuk ke ruang dokter, nyaris setiap menit ia mengangkat tangannya yang sudah mengurus dan keriput untuk melihat jam tangan.
Saat itu hampir pukul 11.00 WIB. Suster muda yang tak tahan ikut gelisah melihat ulah sang kakek lalu bertanya, "Dari tadi saya melihat bapak melihat jam, apakah bapak ada janji lain?"
"Benar," jawab si kakek. "Saya harus menemui istri saya untuk makan siang."
Lalu, si kakek bercerita istrinya yang sudah lama menderita hilang ingatan dan penglihatan yang semakin buruk hingga tak lagi bisa melihat lawan bicaranya. Hebatnya, sudah lima tahun si kakek selalu menemani istrinya makan siang walau tanpa perbincangan yang hangat.
"Lho, kalau istri bapak sudah tak lagi mengenali dan melihat bapak, kenapa bapak harus selalu makan siang bersamanya?" si suster tak habis mengerti dengan kegelisahan sang pasien yang berusia 75 tahun itu.
Dengan nada tenang seolah sangat mengerti atas reaksi wanita berbaju putih itu, si kakek berkata, "Dia memang tak lagi mengenal saya, tapi kan saya masih kenal dengan istri saya. Dengan mata tua ini, saya masih bisa melihat wajah cantik wanita yang saya nikahi dan mendampingi saya selama ini."
Well, saya tak usah menceritakan tamparan yang dirasakan sang suster. Si kakek mengingatkan lawan bicaranya akan arti komitmen dan cinta yang pernah ia ucapkan.
Matanya memang masih melihat wanita yang ia janjikan sebuah kehidupan perkawinan. Namun, hatinya melihat lebih terang dan jelas seperti apa cinta yang dibutuhkan sang istri.
Melihat dengan hati. Kok saya merasa pemerintah Republik Indonesia perlu melihat situasi di negeri ini tak hanya melalui mata fisik.
"Hanya dengan hati seseorang bisa melihat dengan benar, menilik apa yang hakiki yang tak terlihat oleh mata." Begitu menurut Antoine de Saint Exupery (1900-44), penulis dari Prancis yang terkenal dengan novelnya, The Little Prince.
***
Mungkinkah kita melihat SEA Games dengan hati? Pekan ini, Indonesia memulai tugasnya sebagai tuan rumah pesta olah raga negara-negara Asia tenggara yang ke-26. Dalam beberapa perbincangan dengan rekan kerja dan kenalan, saya menunjukkan kegelisahan atas kesiapan kita menggelar pesta.
"Pak Presiden, Saya Malu!" Ya, ini judul yang saya punya untuk menyambut SEA Games 2011.
Belajar dari tahun 1997 ketika Indonesia menjadi tuan rumah SEA Games untuk yang ketiga kali, seharusnya kita jauh lebih baik.
Alangkah bijaknya bila panitia SEA Games ke-26 bercermin dari panitia 14 tahun lalu. SEA Games 1997 bukan tanpa masalah, termasuk di dalamnya pembangunan Hotel Mulia. Tapi kenapa kita menambah persolan dan bukan belajar dari kesalahan pendahulu?
Coba ingat. Berita-berita yang mengiringi persiapan Indonesia menggelar pesta olah raga Asia Tenggara adalah: korupsi pembangunan wisma atlet, kucuran dana yang telat, venue belum siap, peralatan yang tak kunjung datang, penerjemah pelatih yang tak mendapat gaji sesuai janji, dan banyak lagi.
Bahkan, maskot komodo bernama Modo dan Modi yang ditampilkan panitia menjadi bincang-bincang lucu di tengah masyarakat.
Si Modo disebut mengeluh kepada Modi. Katanya, "Mana ada komodo putih begini. Kamu sih enak bisa ngeles akibat memakai lotion pemutih. Lha aku? Apalagi orang-orang bilang mukaku lebih mirip cicak daripada komodo."
Sebagai "pengantin", Indonesia sudah berikrar akan menjadi tuan rumah yang baik bagi 10 tamunya. Janji Menpora bahwa pembukaan SEA Games akan spektakuler seharusnya didahului persiapan yang spektakuler pula. Well, buat apa menerima pujian saat acara seremonial megah tetapi menuai makian ketika pelaksanaan pertandingan?
***
Setelah menang telak 6-0 atas Kamboja, timnas Indonesia pimpinan Rahmad Darmawan kembali menjaga harapan masyarakat ketika menundukkan Singapura 2-0 di laga kedua Grup A.
Jumat kemarin saya masih melihat beberapa kelemahan dalam bertahan maupun keselarasan kerja sama di kotak penalti lawan, tapi setidaknya Garuda Muda menunjukkan bahwa sepak bola itu erat kaitannya dengan harapan.
Federasi sepak bola kita memang tak berhenti menyajikan keputusan yang menjadi perdebatan. Saling sikut dan mementahkan komentar rekan diikuti tanda-tanda akan lahirnya dua kompetisi di liga utama. Masyarakat diberi tontonan perang kata-kata memanfaatkan persaingan dalam industri pers. Pertandingan sepak bola seolah terjadi di media massa dan dunia maya. Celaka!
Tapi untuk sementara, Garuda Muda memulangkan fokus kita ke lapangan, tempat sepak bola itu sesungguhnya dimainkan. Di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Patrich Wanggai dkk. membawa misi mengembalikan kegembiraan dan harapan yang sempat tumbuh di Piala AFF 2010, namun susut akibat pertikaian di tubuh organisasi sepak bola Indonesia. #
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment